KERANGKA PENELITIAN
Oleh:
ELIUS : GWIUJANGGE
NMP :
10510003
PROGRAM STUDI
SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
TAHUN AKADEMIK
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama tiga dasawarsa pembagunan nasional di Indonesia (1970-1990-an)
telah terjadi perubahan yang sangat pesat, sehingga memberi kesan bahwa
keberhasilan pembangunan dapat diukur dari banyaknya proyek-proyek fisik yang
dibangun. Pengorbanan faktor manusia dalam proses pembangunan dianggap wajar,
karena dimasukkan sebagai cost yang harus dibayar demi keberhasilan
pembangunan itu. Dengan kata lain, faktor-faktor sosial budaya telah diabaikan
dalam proses pembangunan. Akhirnya, makna kesejahteraan diredusir hanya pada
aspek fisik, yang diukur dari kenaikan pendapatan per kapita secara nasional sebagai
indikator pertumbuhan yang dibanggakan pada saat itu. Di balik itu,
terdapat warga masyarakat di kawasan tertentu yang terkena dampak pembangunan,
khususnya masyarakat yang berdekatan atau tergusur karena proyek. Bagi mereka
khadiran proyek justru menjadi beban, karena terlalu banyak perubahan yang
belum siap mereka terima. Lebih-lebih bagi mereka yang tergusur, beban menjadi
semakin berat karena di samping menerima dampak secara fisik, mereka juga
mengembangkan pola-pola adaptasi di lingkungan baru yang dapat menimbulkan
masalah. Contoh penting adalah persoalan yang dialami masyarakat Marunda
(Jakarta Utara), yang terjadi sehubungan dengan dibangunnya proyek Pusat
Perkayuan Marunda (Meutia Hatta, 1991).Di samping dampak ekonomi, sosial,
kebudayaan, dan psikologis berupa stress yang terungkap dari penelitian Meutia
Hatta tersebut, dampak sosial juga dirasakan oleh masyarakat di Kecamatan
Citeurup, Kabupaten Bogor, berupa perubahan pola pergaulan antartetangga,
menurunnya tingkat ketentraman penduduk dan makin kompleksnya peranan sosial
masyarakat (Parsudi Suparlan, 1981). Temuan serupa juga diperoleh Sariyun
(1980) dalam penelitiannya tentang pengaruh proyek industri besar terhadap
masyarakat tradisional di Kabupaten Aceh Utara. Pembangunan proyek Liquid
Natural Gas (LNG) pada tahun 1996 ternyata menimbulkan dampak berupa
konflik sosial, baik antara sesama penduduk asli, antara penduduk asli dengan
pendatang, maupun antara sesama pendatang. Ketiga
penelitian tersebut membuktikan bahwa semakin dekat jarak fisik dengan pusat
kegiatan pembangunan, semakin banyak perubhan yang terjadi. Hal itu disebabkan
meningkatnya intensitas pengaruh kegiatan ekonomi pasar yang dibawa serta dalam
kegiatan pembangunan itu lebih kuat dan lebih besar daripada kekuatan yang ada
dalam ekonomi pertanian yang bersifat subsistensi ataupun yang bersifat pasar
lokal. Perubahan-perubahan yang demikian cepat itu dirasakan sebagai tekanan
berat oleh penduduk lokal yang belum siap untuk mengambil bagian secara
menguntungkan. Kegagalan menyesuaikan diri (readjustment) menyebabkan
mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam
dengan memendam suatu persoalan. Benih-benih konflik pembangunan di Indonesia mulai tumbuh
sejak awal tahun 1990-an, ketika masyarakat mulai berani melakukan protes atau
unjuk rasa terhadap rencana pembangunan proyek. Beberapa proyek yang diprotes
pada saat itu antara lain, Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas (Jakarta), Waduk
Kedung Ombo (Jateng), Waduk Nipah (Jatim), PLTA Danau Lindu (Sulteng), dan PT
Freeport di Papua. Disamping itu, protes terhadap masalah tanah akibat
pembangunan juga terus meningkat. Hal ini merupakan indikasi bahwa ada
ketidakpuasan masyarakat terhadap proses perencanaan pembangunan di berbagai
daerah.
Salah satu di
antara sekian banyak proyek pembangunan yang tidak disetujui oleh masyarakat
adalah proyek pertambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang
berlokasi di Kabupaten Mimika Papua. Proyek ini ditentang oleh rakyat setempat
sejak awal berdirinya (1970), dan terus berlangsung sampai sekarang. Perubahan
sosial juga terjadi secara cepat di wilayah sekitar proyek, telah menimbulkan
berbagai macam konflik dalam masyarakat, terutama antara pendatang dengan
penduduk asli. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek membuat
masyarakat tidak puas terhadap proyek dan pada kalangan masyarakat tertentu
timbul keyakinan bahwa hanya melalui berbagai gerakan sosial, hubungan antara
masyarakat dengan proyek dapat diperbaiki. Di samping itu, ada pula kelompok
masyarakat yang lebih bersikap kompromistik, tidak menentang, tetapi berusaha
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
B. Perumusan Masalah/dan fokus masalah
Untuk melihat bagaimana penerapan teori sikap dan perilaku, serta teori
konflik dalam pola hubungan penduduk asli dengan PT Freeport Indonesia, maka
diperlukan pemahaman tentang hal-hal tersebut di bawah ini, yaitu:
1. Mengapa timbul protes penduduk asli
terhadap proyek pertambangan PT Freeport Indonesia?
2. Mengapa protes berlangsung lama atau
berkepanjangan?
3. Bagaimana protes sosial dapat
berkembang menjadi gerakan sosial?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut
di atas, dengan harapan, apabila latar belakang terjadinya protes dan sebab-sebab
terjadinya protes yang berkepanjangan itu dapat terjawab, konflik-konflik
pembangunan di kemudian hari dapat dicegah atau dikurangi. Selain itu, apabila
proses perubahan dari protes menjadi gerakan sosial dapat dijelaskan, merupakan
sumbangan bagi sosiologi terutama dari sudut pengembangan teori yang bersumber
pada kajian psikologi lingkungan. Dari sudut pandang praktis, penelitian ini pada dasarnya
ingin menjelaskan suatu gejala sosial yang dalam konsep sosiologi disebut
gerakan sosial, baik dari segi struktur internal, proses terjadinya hubungan
dengan gerakan politik dan pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah. Dari
sudut pandang akademik, penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan teori yang
ada, dalam arti membangun teori dari bawah, tanpa melepaskan diri dari kerangka
teori yang sudah ada.
D. Tinjauan Teoritis
Pendekatan teori psikologi digunakan
dalam mengkaji penelitian ini. Akan tetapi, tidak semua teori digunakan sebagai
alat analisis. Hanya teori yang relevan dengan pembentukan sikap dan perilaku
yang diterapkan sehingga diperoleh gambaran yang gamblang tentang sebab-sebab
terjadinya protes yang berkepanjangan dan proses perubahan dari protes menjadi
gerakan sosial dapat dijelaskan.
a. Teori
Sikap dan Perilaku
Sikap merupakan bagian yang sangat
penting dari setiap individu, dimana dalam bersikap, terjadi adanya sebuah
proses atau pengolahan informasi. Tiga struktur utama yang mempengaruhi
seseorang dalam bersikap, ialah:
1. Kognitif atau komponen perseptual, yaitu komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsikan terhadap objek.
2. Afektif atau komponen emosional (perasaan) yaitu komponen
yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap.
Rasa senang merupakan objek yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan
objek yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan
negatif.
3. Konatif atau kesiapan untuk bertingkah laku yaitu komponen
yang berhubungan dengan kecenderungan tertindak terhadap objek sikap. Komponen
ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya
kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
Ciri khas dari sikap yaitu: harus
(1)
Mempunyai objek yang dapat tertuju pada sekumpulan objek tertentu
seperti orang, benda, situasi dsb;
(2) Mempunyai nilai apakah suka atau
tidak suka, setuju atau tidak setuju;
(3) Tidak dibawa sejak lahir, dimana
sikap tersebut tumbuh pada saat kita bersosialisasi dengan orang lain;
(4) Mengandung Faktor Perasaan dan Motivasi;
(5) Dapat
berlangsung pada sesaat saja maupun lama. Sehingga sikap
yang terbentuk pada seorang individu dapat dipelajari lewat pergaulan yang
dilewatinya sehari-hari.
Sikap seorang individu bisa terlihat
atau nampak dan tidak kelihatan. Sikap yang kelihatan (muncul) atau yang
diekspresikan tersebut menimbulkan sebuah tingkah laku. Dimana, sikap yang
muncul tersebut mendorong seorang individu untuk bertingkah laku sesuai dengan
yang diinginkannya. Dengan mengetahui sikap seseorang, kita biasanya dapat
meramalkan tingkah laku yang akan muncul. Sedangkan tingkah laku tidak dapat
mewakili sikap seorang individu. Dan sikap tidak selalu dapat diekspresikan
lewat tingkah laku. Dan tingkah laku bukan hanya semata-mata dipengaruhi oleh
sikap, tetapi dapat pula dipengaruhi oleh situasi, lingkungan, kehadiran orang
lain, kebutuhan dan lain sebagainya.
Sikap yang ada pada seseorang akan
memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan,
terhadap sesuatu masalah atau keadaan yang diharapkan kepadanya. Keadaan ini
menggambarkan hubungan sikap dengan perilaku. Perilaku seseorang akan diwarnai
atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Myers
(1983) berpendapat bahwa perilaku itu merupakan sesuatu yang kena banyak
pengaruh dari lingkungan. Demikian pula sikap yang diekspresikan (expressed attitudes) juga merupakan
sesuatu yang dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Orang tidak dapat mengukur
sikap secara langsung, sehingga yang diukur adalah sikap yang nampak, yaitu
perilaku. Jadi, perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi
satu dengan yang lain.
Salah satu teori yang mendukung
hubungan antara sikap dan tingkah laku, yaitu The ReasonedAction Model. Dalam teori ini menerangkan bahwa
tingkah laku di dahului oleh behavior
intention (tujuan tingkah laku). Untuk melihat kaitan antara sikap dan
perilaku, Martin Fishbein dan Ajzen dalam
Wiggins, et al (1994) mengemukakan sebuah teori tentang terbentuknya sikap dan
perilaku individu. Teori yang dikemukakannya dikenal dengan teori The Reasoned Action Model. Dalam
teori ini dikemukakan bahwa kesiapan berperilaku dipengaruhi tidak saja oleh
sikap tetapi juga subjektif norma. Sikap dilatarbelakangi oleh kepercayaan
sejauh mana perilaku yang dihasilkan akan menghasilkan keuntungan, dan sikap
juga dipengaruhi oleh evaluasi terhadap hasil. Sedangkan subjektif norma
(kepercayaan tentang apakah kita harus atau tidak harus melakukan tindakan)
dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa individu atau kelompok lain memiliki
penilaian tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, dan juga
dipengaruhi oleh motivasi yang terkait dengan harapan. Kesiapan berperilaku
inilah kemudian berkembang dalam sebuah bentuk perilaku yang terlihat dan dapat
diobservasi oleh individu lain.
Model hubungan sikap dengan perilaku
secara teoritis dapat dijelaskan melalui gambar dibawah ini
Kepercayaan
sejauh mana perilaku yang dihasilkan akan menghasilkan keuntungan
|
evaluasi
terhadap hasil
|
Kepercayaan
bahwa individu atau kelompok lain memiliki penilaian tentang apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan
|
motivasi yang
terkait dengan harapan
|
Sikap
|
Subjek norma
|
Perilaku
|
b. Teori
Agresi, Protes Konflik, dan
Pengertian agresi menurut psikolog
sosial merujuk pada kejahatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada
orang lain, baik psikolog sosial maupun masyarakat, secara umum membedakan
antara bentuk perilaku yang membahayakan berdasarkan motif, legitimasi, dan
kadarnya. Kita membedakan perilaku yang membahayakan berdasarkan motif atau
maksud dari perilaku.
Beberapa teori mengenai sebab-sebab
terjadinya agresi di antaranya ialah; (i) teori naluri dari Sigmund Freud,
menyatakan bahwa pada dasarnya manusia punya dua naluri, yaitu naluri seksual
dan naluri agresi. Naluri seksual bertujuan untuk melanjutkan keturunan,
sedangkan naluri agresi bertujuan untuk mempertahankan diri atau kelompoknya,
(ii) teori frustasi-agresi, menyatakan bahwa agresi dipicu oleh hambatan
terhadap pencapaian suatu tujuan, (iii) teori biologis, menyatakan bahwa agresi
yang ada pada diri seseorang disebabkan oleh faktor keturunan, (iv) teori
belajar sosial (social learning), menyatakan bahwa seseorang menjadi agresi
karena sering melihat hal tersebut, dan (v) teori kognitif, menyatakan bahwa
sifat agresi terjadi karena adanya variabel-variabel lain disamping variabel
belajar sosial.
Situasi yang dapat menyebabkan
terjadinya agresi yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain di antaranya
ialah, adanya gangguan, serangan, atribusi di sekitar orang lain, isyarat
agresi, status sosial yang bersifat relatif, adanya deinviduasi dan norma-norma
institusi, dan norma-norma budaya.
Penimbulan emosi terjadi oleh penolakan
kondisi yang diartikan sebagai beberapa bentuk emosi lain, ketakutan,
ketertarikan, depresi, dan sebagainya. Penyebab lainnya adalah pengarahan
agresi seseorang terhadap orang lain tanpa menunjukkan kemarahan atau beberapa
emosi yang lain. Psikolog sosial kadang-kadang membedakan antara agresi marah
bersebab dan marah bebas dengan menggunakan agresi permusuhan dan agresi
pertolongan.
Konsep lain yang merupakan kata kunci
dalam tulisan ini adalah konsep konflik. Konflik atau agresi timbal balik
merupakan agresi yang dibalas dengan agresi lain. Menurut Wiggins (1994),
konflik terjadi karena adanya kompetisi dan frustasi. Sebuah agresi kelompok
tidak dipengaruhi oleh faktor tunggal, banyak sekali variabel-variabel yang
menyebabkannya. Menurut Wiggins (1994), keberhasilan bisa dianggap kegagalan
bagi orang lain. Konflik tidak akan terjadi jika kita tidak menganggap bahwa
keberhasilan orang lain adalh kegagalan atau kekalahan bagi kita.
Faktor-faktor pengurangan kemungkinan
konflik meningkat mencakup, pertama, pertukaran status yang sama, kedua,
kerjasama, terutama jika kerjasama tersebut berhasil dalam mencapai tujuan
bersama, dan ketiga, pembedaan anggota-anggota kategori sosial negatif.
Protes yang dialakukan oleh suatu
golongan terhadap golongan lain merupakan salah satu penyebab munculnya
konflik. Sebuah protes, menurut Eisenstadt (1986: 54) merupakan ungkapan
ketegangan antara kompleksitas dan fragmentasi hubungan manusia yang inheren
dalam pembagian kerja kelembagaan dan kemungkinan total tidak terkondisi, serta
kesenjangan partisipasi tatanan sosial dan kebudayaan.
1.5. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan ini terutama menggunakan studi kepustakaan. Data-data di peroleh dari
berbagai buku dan tulisan yang mendukung penelitian ini. Data yang diperoleh
kemudian dipergunakan untuk melihat sejauhmana teori-teori psikologi yang ada
dapat menjelaskan latar belakang munculnya sikap penduduk asli yang memprotes
pembangunan proyek pertambangan di Kabupaten Mimika Papua.
Data yang telah diolah tersebut kemudian
diinterpretasi untuk melihat sejauh mana hubungan antara kehadiran PT Freeport
Indonesia di Mimika Papua dengan protes yang dilancarkan penduduk asli yang
kemudian berkembang menjadi gerakan sosial politik.
Langkah terakhir yang dilakukan dalam
metode penelitian ini adalah dengan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan
dengan tujuan supaya hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu, seperti PT Freeport Indonesia dan perusahaan lainnya, dan
semoga dapat pula memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu sosial di
Indonesia.
2.1. Penduduk dan Mata Pencahariannya
Kabupaten Mimika terletak di bagian
selatan Propinsi Papua. Kabupaten ini semula adalah bagian dari Kabupaten
Fakfak Kemudian pada tahun 2000, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2000,
Mimika beralih status menjadi kabupaten, yang berarti menjadi daerah otonom.
Luas Kabupaten
Mimika 19.592 km2 atau 4, 77% dari luas Propinsi Papua. Kabupaten ini
terletak di antara 40 30 40 44 LS dan 1360 36 1360 48 BT. Jumlah penduduk
Kabupaten Mimika berdasarkan pendataan Pemilihan Umum 1999 berjumlah 90.518
orang, yang terdiri dari 56.004 laki-laki dan 34.514 perempuan. Penduduk itu
tersebar pada empat kecamatan yang terdiri dari 70 desa/kelurahan. Perincian
jumlah penduduk adalah sebagai berikut:
dan dimekarkan sebagai kabupaten
administratif pada tahun 1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
1996.
Tabel
1: Jumlah Penduduk Kabupaten Mimika Tahun 1999
No.
|
Kecamatan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
%
|
1
2
3
4
|
Agimuga
Mimika
Barat
Mimika
Timur
Mimika
Baru
|
1.789
3.575
4.661
24.489
|
2.070
4.216
5.274
44.444
|
3.859
7.791
9.935
68.933
|
4,26
8,61
10,98
76,15
|
J
u m l a h
|
34.514
|
56.004
|
90.518
|
100
|
Sumber: Kantor Kependuduk Setwilda
Mimika
Penduduk
asli Mimika terdiri dari berbagai macam etnis, namun etnis yang terbesar adalah
Amungme dan Kamoro. Di samping itu ada etnis-etnis lain yang dianggap pendatang
oleh kedua etnis tersebut di atas, yaitu Dani, Moni, Lani, Damal, Nduga, Ekari,
Delem, Kupel, dan Ngamun.
Etnis
Amungme mendiami wilayah bagian selatan pengunungan tengah Papua atau di bagian
utara wilayah Mimika. Kesatuan wilayah tempat tinggal mereka disebut Amungsa.
Sedangkan Etnis Kamoro, menempati wilayah bagian selatan, yang terdiri dari
dataran rendah. Tanah Amungsa juga didiami oleh etnis-etnis lain, seperti Moni,
Lani, Damal, Nduga, dan Ekari yang berasal dari Kabupaten Jayawijaya.
Mata
pencaharian penduduk Kabupaten Mimika sekarang ini cukup beranekaragam seiring
dengan perkembangan pemerintahan, perdagangan, dan pertambangan (Freeport).
Penduduk yang berdiam di Tembagapura dan Kualakencana, sebagian besar adalah
karyawan Freeport yang berjumlah 17.000 jiwa. Selebihnya terdiri dari pegawai
negeri/TNI, petani/nelayan, dan pedagang/pengusaha. Penduduk aslinya, baik
Amungme, Kamoro, dan etnis-etnis lain, sebahagian besar masih hidup dengan mata
pencaharian meramu atau bertani, mencari makan dengan berburu, menangkap ikan,
dan memanggur sagu.
Pola
kehidupan meramu dan nomaden masih dijalankan oleh sebagian Etnis Kamoro,
sementara orang Amungme kebanyakan sudah menetap dan berkebun dengan sistem
ladang berpindah, beternak, dan berburu. Cara bertani tanpa mengolah tanah
lebih dulu dijalankan oleh penduduk pegunungan, terutama orang Dani dan Ekari.
Kebun mereka umumnya terletak di lereng-lereng gunung yang terjal, dan bahan
makanan yang ditanam adalah petatas (ubi jalar), talas, dan sayur mayur.
Hasil
penelitian UGM dan Freeport (1999) menyebutkan bahwa masyarakat Kamoro sekarang
ini berada dalam masa transisi dari kehidupan masyarakat peramu nomadik ke
masyarakat pertanian menetap. Sementara itu mereka hidup berdampingan dengan
masyarakat modern yang berlangsung dalam kompleks pertambangan PT. Freeport
sehingga terjadi gap yang dalam, yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian secara
radikal, yang seringkali mengundang keputusasaan bagi masyarakat tersebut.
2.2. Nilai-nilai Sosial Budaya
Etnis Amungme dan Kamoro
Meskipun
ada puluhan suku-bangsa asli Papua yang berdiam di wilayah Mimika, namun dalam
tulisan ini hanya dua suku-bangsa yang dijadikan obyek kajian, yaitu Amungme
dan Kamoro, karena kedua suku-bangsa inilah yang terkena dampak langsung
pembangunan proyek pertambangan Freeport.
a. Suku-banga Amungme
Orang
Amungme mendiami dataran tinggi di kawasan Kabupaten Mimika sehingga mempunyai
ciri-ciri budaya dataran tinggi (highland). Tempat tinggal mereka terpencar di
beberapa lembah yang terletak di antara gunung-gunung yang terjal seperti
Lembah Tsinga, Lembah Oea, Lembah Jila, Lembah Waa, Lembah Bella, dan
lain-lain. Mereka pada umumnya percaya akan adanya roh-roh leluhur yang tetap
mengawasi dan mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka percaya bahwa hidup manusia
dan alam sekitarnya tidak terpisah dari roh-roh yang hidup di dalamnya.
Manusia, alam dan roh leluhur mempunyai keterkaitan yang erat, sehingga
hubungan di antara ketiganya harus tetap dijaga agar selalu harmonis.
Mereka
percaya bahwa Tuhan ada di langit dan di bumi, serta percaya adanya surga yang
disebut hai. Pandangan mereka tentang alam, Tuhan, dan roh sebagai satu
kesatuan yang melingkupi kehidupan manusia merupakan manifestasi ajaran monisme
yang mempunyai makna positif dalam upaya pelestarian alam. Manusia adalah
bagian dari alam sehingga kalau ia merusak alam berarti merusak diri sendiri.
Ditambah lagi orang Amungme mengidentikkan alam dengan orangtua, tanah dianggap
sebagai Ibu dan gunung adalah Bapak.
Tanah
yang mereka ibaratkan sebagai Ibu mempunyai bagian-bagian tertentu yang
merupakan cerminan tubuh Ibu. Daerah pantai diibaratkan kaki ibu, dataran
tempat mereka berkebun adalah badan ibu, dan puncak gunung adalah bagian kepala
ibu (Beanal, 2000: 9). Ini berarti, menghormati alam sama dengan menghormati
ibu. Pandangan ini mempengaruhi sikap orang Amungme terhadap eksplorasi tambang
yang ada di puncak gunung dalam sikap terhadap dampak lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
b. Suku-bangsa Kamoro
Orang
Kamoro berdiam di dataran rendah wilayah Kabupaten Mimika, sehingga mereka
memiliki corak budaya dataran rendah (lowland). Kampung-kampung yang mereka
diami adalah Mapurunjaya, Koperapoka, Mamako, Hiripao, Kongapu, Mwapi,
Nawaripi, Iwaka, Miako, Aikawapuka, Keakwa, Tiwaka, Atuka, dan Nawaripi.
Kampung dan desa-desa tersebut, kecuali Nawaripi dan Koperapoka terletak di
pinggiran dan di tengah-tengah hutan dekat aliran sungai. Sedangkan Nawaripi
dan Koperapoka terletak di dalam Kota Timika, ibukota Kabupaten Mimika.
Orang
Kamoro pada umumnya memandang tanah sebagai dusun atau tanah tumpah darah, yang
berarti bahwa tanah dapat menyimpan berbagai macam sumber daya alam, baik pada
wilayah pantai, sungai, maupun dusun yang harus diwariskan secara turun temurun
oleh taparu (klen). Seperti halnya orang Amungme, orang Kamoro juga
mensakralkan alam. Tanah diibaratkan sebagai ibu dan tanah itulah yang
memberikan nafas kehidupan bagi mereka. Oleh karena itu, orang Kamoro yang
tidak memiliki tanah, dianggap sebagai anak yatim piatu yang selalu hidup
murung, tanpa daya. Karena kedudukannya yang suci itu, orang Kamoro tidak
mengenal adanya jual-beli tanah. Tanah yang merupakan warisan leluhur harus
dilestarikan dan diwariskan lagi kepada generasi berikutnya. Melepaskan hak
atas tanah berarti memutus hubungan dengan tanah leluhurnya.
Dalam
hubungannya dengan tanah, pandangan orang Kamoro tidak jauh berbeda dengan
orang Amungme. Beberapa hal yang mengandung persamaan di ataranya adalah,
pertama, mengibaratkan tanah dengan Ibu, kedua, tidak mengenal hak milik
perorangan, melainkan hak ulayat dan ketiga, adanya zona-zona penggunaan tanah,
yaitu zona pemukiman/perkampungan, zona pertanian, dan zona penyangga
(Ngadisah, 2003: 60).
2.3. Kehadiran PT Freeport
Indonesia di Mimika
PT.
Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan modal asing yang sahamnya dimiliki
oleh Freeport Mc Mo Ran Cooper & Gold Inc ( 81,28%), PT. Indocopper
Investama Corporation (9,36%), dan Pemerintah Republik Indonesia (9,36%). PTFI
mengoperasikan tambang tembaga, emas, dan perak dalam jumlah besar di wilayah
Kabupaten Mimika, Papua. Meskipun lokasi berada di sekitar Gunung Biji dan
Gunung Rumput, namun wilayah kontrak kerja meliputi kurang lebih sepertiga
wilayah Mimika. Hal ini disebabkan kegiatan proyek mencakup pula pengapalan,
pengolahan limbah, pembangunan jalan, dan berbagai fasilitas yang diperlukan
untuk mendukung aktivitas penambangan.
Penemu
pertama biji tembaga di Ertsberg (Gunung Biji) adalah seorang ahli geologi
Belanda bernama Jean Jacqnes Dory, pada tahun 1936. Kemudian pada tahun 1986,
pada saat kandungan tembaga sudah mulai menipis, ditemukan sumber penambangan
baru yang lebih besar, yakni di puncak Gunung Rumput (Grasberg). Endapan
tambang yang berada di wilayah ini disebut oleh Mealey (1986) sebagai
penambangan tembaga terluas dan terbesar pada endapan yang paling terpencil di
dunia. Karena letaknya yang sangat sulit dijangkau ini, pembangunan infrakstruktur
menjadi sangat besar, serta untuk pengelolaan keseluruhan proyek diperlukan
teknologi tinggi.
PT
Freeport Indonesia mulai melakukan pengeboran eksplorasi di Ertsberg pada bulan
Desember 1967, berdasarkan kontrak karya I (KK I) yang ditandatangani oleh
pemerintah Indonesia pada tanggal 7 April 1967. Pada tahun 1969 operasi
penambangan dimulai. Pada saat itu, daerah lokasi pertambangan masih sangat
sulit dijangkau, namun di sana sudah ada beberapa perkampungan kecil yang
tersebar secra tidak merata, dihuni oleh penduduk yang jumlahnya kurang lebih
1.000 orang. Penduduk asli (orang Amungme) yang telah mendiami tempat tersebut
mengklaim areal pertambangan sebagai tanah leluhur mereka. Mereka tidak hanya
menganggap bahwa puncak gunung itu sebagai tanah miliknya, lebih dari itu,
mereka menganggap bahwa itu adalah tempat suci, yang diibaratkan sebagai kepala
Ibu (Ninggok) dan tempat bersemayam roh-roh suci. Puncak gunung adalah tempat
yang sakral, yang selalu dipuji dalam doa, dan tempat kembalinya roh bila sudah
meninggal.
Pandangan
hidup seperti itu telah melahirkan sikap keras yang menentang eksploitasi
kekayaan alam di puncak gunung oleh perusahaan pertambangan Freeport. Apalagi
perusahaan ini dianggap masuk tanpa permisi, yang berarti telah melanggar hak
martabat orang Amungme, sekaligus menghancurkan dunia batin dan sumber
orientasi dalam kehidupan mereka. Perasaan sakit hati tidak mudah diobati
sehingga upaya-upaya yang dilakukan Freeport untuk menarik ke dalam lingkungan
kehidupan pertambangan belum berhasil mengobati luka dan dukanya. Mereka tetap
menganggap Freeport sebagai perampas tanah mereka, dan tidak mau menerima ganti
rugi karena tanah leluhur tidak sewajarnya diperjualbelikan.
Faktor
lain yang mempengaruhi terbentuknya sikap keras orang Amungme adalah lingkungan
alam yang melingkupi kehidupan sehari-hari. Sebagai orang yang biasa hidup
dalam alam lingkungan yang keras, penuh tantangan dan marabahaya, membuat sikap
orang Amungme lebih ulet dan lebih dinamis dibanding orang Kamoro. Dinamika kehidupan
yang tinggi dalam kelompok, bila dihadapkan dengan kelompok luar (out group)
akan membawa kesan agresif.
Orang
Kamoro yang berdiam di dataran rendah mempunyai reaksi yang berbeda dengan
orang Amungme dalam menanggapi kehadiran Freeport. Meskipun banyak di antara
mereka yang tidak setuju dengan kehadiran Freeport, mereka lebih banyak
bertahan (tidak agresif). Mereka mempunyai cara pembebasan tersendiri bila
mendapat tekanan dari luar, yakni berusaha menghindar.
Sikap
kompromistis mereka lebih menonjol krena perkenalan dengan pendatang lebih lama
dan lebih sering. Pada umumnya mereka berusaha menghindari konflik dengan
orang-orang dari suku-bangsa yang sama, dan tidak ada sikap perlawanan terhadap
suku-bangsa lain atu pendatang. Sikap yang kurang agresif ini mengakibatkan
adanya hambatan dlam mengekspresikan diri, termasuk dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosial yang lebih luas. Sikap bawaan kolektif etnis ini menyebabkan
bentuk reaksi yang berbeda dengan etnis Amungme dalam menghadapi Freeport.
Sebagian
besar orang Kamoro tidak suka terhadap Freeport karena telah merusak lingkungan
yang merupakan sumber penghidupan orang Kamoro berupa sagu, sungai, dan sampan
yang telah hancur. Alasan lain adalah karena telah merusak warisan Allah yang
diberikan kepada orang Kamoro, sehingga mengakibatkan orang Kamoro kehilangan
jatidiri. Perasaan tidak suka ini muncul setelah proyek beroperasi dan
dampaknya kelihatan. Ini menunjukkan bahwa yang mereka tentang sebenarnya
adalah dampak yang muncul dari proyek tersebut, bukan aktivitas
pertambangannya. Berbeda dengan orang Amungme yang sejak awal sudah menentang
karena Freeport dianggap telah merampas tanah hak ulayatnya.
Sebagian
orang Kamoro dalam jumlah yang lebih sedikit menyatakan biasa-biasa saja,
artinya tidak senang dan juga tidak sedih. Alasan mereka karena mereka sudah
diberi bantuan, walaupun tidak mencukupi. Mereka bersikap senang tidak senang
karena mereka tahu bahwa meskipun Freeport telah merusakkan lingkungan hidup,
namun upaya pembangunan rumah mereka oleh PT Freeport juga pantas dihargai.
Sementara
itu, sebagian kecil orang Kamoro ada pula yang menyatakan senang dengan
kehadiran Freeport karena mereka sekarang bisa hidup lebih tenang, aman, dan
bahagia. Mata pencahariannya sebagai petani tidak terganggu dan tidak lagi
pergi berburu atau meramu masuk hutan. Mereka yang merasa senang ini di
antaranya adalah pamong desa (kepala dusun), yang mungkin dapat menikmati
statusnya sebagai salah satu unsur pimpinan masyarakat.
BAB III
MUNCULNYA PROTES PENDUDUK ASLI
3.1. Bentuk-bentuk Protes
Protes
masyarakat terhadap PTFI sudah berlangsung sejak awal berdirinya PTFI, yakni
pada waktu persiapan proyek. Protes berlanjut sampai sekarang, karena konflik
yang menjadi penyebab protes tidak diatasi secara tuntas. Di samping karena
faktor dampak dan kebijakan PTFI yang merugikan kelompok tertentu, ada pula
faktor internal yang menyebabkan protes berlangsung terus, bahkan mengarah pada
gerakan sosial politik. Faktor internal yang dimaksud adalah kemajemukan masyrakat
Mimika, karena beranekaragamnya pendatang dengan budaya masing-masing,
masyarakat asli merasa terpojok. Kenyataan ini dihadapi dengan memperkuat
ikatan emosional ke dalam, sambil mengambil jarak dengan pendatang. Sikap ini
merupakan indikasi bahwa ada resistensi penduduk asli terhadap pendatang.
Perlawanan
itu muncul karena kelompok-kelompok kepentingan yang dominan yaitu pemerintah
dan PTFI yang membawa arus pendatang ke daerah Mimika dianggap telah
memarginalisasi penduduk asli. Perasaan terancam, ditambah dengan penyelesaian
konflik yang tidak memuaskan penduduk asli dalam kasus-kasus dengan PTFI maupun
pemerintah, merupakan penyebab utama timbulnya protes dalam berbagai bentuk.
Bentuk-bentuk
protes yang dilakukan penduduk asli dimulai dari protes-protes fisik seperti
pencabutan patok-patok di kawasan pertambangan, merusak fasilitas fisik milik
PTFI dan penyanderaan mobil, dan yang terbesar dari segi jumlah kerugian adalah
kerusuhan Mimika pada bulan Maret 1996. Gerakan-gerakan kolektif secara fisik,
oleh orang Amungme dianggap tidak efektif, sehingga Kepala Suku Besar Amungme
(Tom Beanal) membentuk organisasi Lemasa yang dimaksudkan untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat adat setempat. Lembaga tersebut merupakan embrio
terbentuknya gerakan soial di Mimika.
Bila
ditelaah secara mendalam, penyebab terjadinya protes yang dilakukan oleh
penduduk asli dapat diidentifikasi sebagai berikut (Ngadisah, 2003: 149):
1.
Keinginan untuk bekerja di PTFI namun ditolak (tidak memenuhi syarat).
2.
Karyawan yang ditegur karena tidak disiplin, kemudian mengamuk dan melibatkan
kelompoknya.
3.
Persaingan antar karyawan, terutama penduduk asli dengan pendatang.
4.
Ada penggerak dari luar karena mempunyai kepentingan tertentu.
5.
Ada perasaan in group yang kuat dari kelompok etnis tertentu.
6.
Penyelesaian konflik yang tidak pernah tuntas.
7.
Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat (terutama hak atas tanah).
8.
Perbedaan persepsi tentang konsep pemilikan tanah antara PTFI/pemerintah dengan
masyarakat.
9.
Kehadiran tentara sebagai tameng perusahaan.
10.
Keberadaan masyarakat asli seolah-olah diabaikan (tidak pernah diajak bicara/
berunding dalam setiap pengambilan keputusan PTFI).
Dari
10 butir penyebab langsung yang dapat memicu protes, bila diambil kesimpulan
umum adalah karena rasa tidak senang masyarakat terhadap PTFI, baik yang
menyangkut cara-cara atau proses pembanguan proyek pertambangan,
kebijakan-kebijakan setelah proyek mulai beroperasi maupun penanggulangan
terhadap dampak yang dihasilkan oleh operasi tambang PTFI. Dari ketiga tahap
tersebut, yang nampak erat kaitannya dengan aksi protes penduduk asli adalah
tahap pertama dan kedua. Meskipun dampak berupa kerusakan lingkungan akibat
limbah demikian hebat, namun protes yang dilakukan secara langsung karena menuntut
perbaikan lingkungan bukan dilakukan oleh penduduk setempat, tetapi
lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan. Penduduk
asli mungkin merasa sama sekali tidak berdaya atau secara kebetulan yang
terkena limbah adalah masyarakat Kamoro, yang lebih bersikap nrimo dibandingkan
penduduk asli lainnya di Papua.
Faktor
lain yang juga dirasakan sangat meresahkan bagi penduduk asli adalah kebijakan
penerimaan pegawai pada PTFI. Penduduk asli yang menjadi karyawan Freeport
hanya sekitar 10% dari keseluruhan karyawan, sehingga menimbulkan perasaan
terjajah dan pelecehan harga diri di kalangan penduduk asli. Alasan yang
diberikan perusahaan mengenai terlalu sedikitnya penduduk asli yang dilibatkan,
di samping pendidikan/ketrampilan yang rendah, disiplin kerjanya juga rendah.
Sementara itu, masyarakat beranggapan bahwa mereka mampu. Kalaupun tidak mampu,
dapat dicarikan tempat yang paling sesuai, asalkan dapat menjadi pegawai tetap,
bukan sebagai buruh harian. PTFI seharusnya dapat menerapkan persyaratan yang
lebih longgar dalam penerimaan pegawai, khusunya bagi penduduk asli.
Persyaratan ketat yang diberlakukan PTFI hanya akan menambah kesenjangan antara
pekerja dari luar dan masyarakat lokal yang merupakan bom waktu bagi PTFI
maupun pemerintah untuk memicu terjadinya gejolak dan agresi massa. Masyarakat
lokal memang memerlukan waktu lebih lama untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan cara hidup modern atau cara kerja perusahaan.
Dengan
melakukan protes, penduduk asli ingin menyatakan diri secara penuh dalam
tatanan sosial baru. Selama ini penduduk asli, khususnya orang Amungme merasa
keberadaannya sebagai suatu etnis, hak-hak adat dan kesatuan etnisnya dengan
seluruh sumberdaya lingkungannya tidak diakui. Mereka mempertanyakan eksistensinya
yang sama sekali tidak dihargai dan tidak pernah dilibatkan dalam proses
perundingan-perundingan sebelum konsesi-konsesi dengan perusahaan dibuat.
Mereka mempertanyakan, mengapa mereka dikorbankan, seakan-akan mereka tidak
ada, demi terlaksananya pengoperasian pertambangan. Perasaan-perasan mereka ini
diungkapkan oleh pimpinan Lemasa yang menganggap hal-hal tersebut sebagai
sumber segala kerusakan dan konflik dengan Freeport.
3.2. Munculnya Gerakan Sosial
Dilihat
dari proses munculnya gerakan sosial di Mimika, secara garis besar dapat dibagi
dua, yaitu gerakan yang berakar pada budaya atau tradisi dan gerakan yang
muncul secara spontan, dilaterbelakangi oleh motif ekonomi. Gerakan yang
berakar pada budaya mempunyai sistem kepercayaan dan doktrin yang jelas, ada
semacam ideologi yang dipegang teguh sebagai motif penggerak, sedangkan gerakan
kedua lebih bermotif ekonomi, tidak mempunyai doktrin yang jelas mudah
dipengaruhi oleh siapapun yang menawarkan keuntungan ekonomi. Kedua bentuk
gerakan dengan ciri-ciri tersebut adalah gerakan suku-bangsa Amungme yang
diwadahi dalam Lemasa dan gerakan Tujuh Suku, yang wadahnya bermacam-macam,
sesuai dengan suku-bangsa/ sub-suku-bangsa di kawasan Mimika.
Meskipun
motif dan cara-cara melakukan gerakan berbeda, namun pada titik tertentu,
keduanya bertemu, bergabung dalam satu gerakan yang bernuansa politik.
Nampaknya, gerakan-gerakan yang semula mengambang pada akhirnya mengikuti arus
yang lebih deras dan mendasar, sehingga terkesan adanya konvergensi menuju pada
penyatuan gerak ke arah pencapaian tujuan-tujuan politis. Gerakan-gerakan suku
yang terdiri dari tujuh suku, mengikuti arus gerakan Lemasa yang lebih ulet dan
konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai kepercayaannya. Oleh karena ada dua
macam gerakan dengan karakteristik yang berbeda, maka dalam menjelaskan tentang
sebab-sebab gerakan juga dibagi dua, yakni Gerakan Lemasa dan Gerakan Tujuh
Suku. Di luar gerakan-gerakan tersebut masih ada gerakan yang tidak jelas
organisasinya, sehingga tidak begitu berpengaruh terhadap penduduk asli.
Kehadiran
Lemasa merupakan jawaban atas persoalan masyarakat adat Amungme yang timbul
akibat beroperasinya perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia. Konflik
berawal dan berpusat pada kawasan sekitar areal tambang yang ditolak kehadirannya
oleh masyarakat adat, bukan semata-mata karena telah merusak lingkungan, tetapi
dilandasi oleh nilai-nilai tradisional yang berakar dalam kehidupan sosial
orang Amungme secara turun temurun. Ada sistem kepercayaan masyarakat yang
melatarbelakangi protes terhadap PTFI, di samping akumulasi kekecewaan sejak
awal berdirinya PTFI.
Untuk
mewadahi aktivitas gerakan yang semula bersifat sporadis, dibentuklah suatu
lembaga yang bertujuan untuk menyatukan persepsi masyarakat Amungme, dengan
nama Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa). Dengan wadah ini diharapkan posisi
tawar mereka lebih kuat dalam menghadapi PTFI. Pembentukan lembaga yang
diketuai oleh Tom Beanal ini disahkan oleh Bupati Fakfak pada tanggal 22 Juni
1992.
Gerakan
lainnya yang disebut gerakan Tujuh Suku, muncul pada tahun1966 yang mempunyai
rangkaian dengan masalah kehadiran dan pembagian hasil atas operasi
pertambangan Freeport untuk pembangunan masyarakat Irian Jaya.
Tindakan-tindakan negatif PTFI dianggap telah melecehkan martabat orang Papua,
tidak hanya dari segi proses pengambilan tanah adat, tetapi juga cara-cara
pengamanan terhadap PTFI.
Kebijakan
PTFI membangun kota modern yang tertutup bagi orang luar juga merupakan wujud
diskriminatif terhadap warga non-pegawai PTFI, khususnya masyarakat asli Papua
karena mereka merasa menjadi pemilik tanah di kawasan tersebut. Demikian pula
untuk kawasan Tembagapura yang dipagari dan dijaga ketat, tidak memungkinkan
warga sekitar memasuki kota itu, walaupun untuk sekedar berbelanja. Padahal
mereka merasa yang menjadi tamu adalah pendatang, bukan sebaliknya.
Secara
umum terdapat tiga bentuk tindakan kolektif yang dilakukan oleh penduduk asli
di Mimika dalam menghadapi berbagai persoalan dan ketidakpuasan terhadap PTFI.
Pertama, aktivitas Lemasa yang lebih teratur dan terorganisir serta lebih
sistemati, kedua, tindakan kolektif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesukuan yang mengarah pada tindak kekerasan dan premanisme, ketiga, aktivitas
Lemasko yang lebih kompromistis dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya. Semua
tindakan itu merupakan reaksi terhadap sumber yang sama, yakni keberadaan PTFI.
Kehadiran
Freeport telah mendorong terjadinya perubahan sosial yang sangat cepat di
kawasan Mimika, sementara perubahan-perubahan itu tidak mampu diikuti oleh etnis-etnis
yang ada di sana, bahkan mengarah ke marginalisasi penduduk lokal. Dalam banyak
hal, penduduk asli tertinggal dari pendatang, sehingga terjadi ketimpangan
sosial yang dalam di antara keduanya. Ketimpangan ini melahirkan ketidakadilan
yang dirasakan oleh penduduk asli selama puluhan tahun. Ketidakadilan yang
dirasakan bukan hanya dari aspek ekonomidan sosial, namun secara fisik mereka
dirugikan yang berpengaruh pula terhadap aspek psikis dan mental. Ditambah lagi
dengan cara kekerasan yang dilakukan PTFI dan ABRI dalam menghadapi penduduk,
sehingga lengkaplah pnderitaan penduduk asli sebagai korban pembangunan.
Dalam
keadaan yang demikian, tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali melawan
dengan berbagai aksi. Kesamaan nasib dalam menghadapi PTFI, dan pendatang pada
umumnya, melahirkan identitas kolektif, yang merupakan kekuatan sosial umtuk
melakukan perlawanan secara lebih terorganisir. Bila situasi politik
dimungkinkan dan kontrol dari kelompok yang dominan melemah maka jadilah
aksi-aksi kolektif ini menjadi gerakan politik. Tuntutannya tidak lagi sekedar
pemenuhan ganti rugi atau persamaan hak, tetapi mengarah ke pemisahan diri,
lepas dari negara yang selama ini menekan mereka.
3.3. Perkembangan Protes Menjadi
Gerakan Sosial Politik
Protes
yang merebak dalam berbagai bentuk dan kesempatan, mungkin akan berhenti bila
direspon dengan cara yang tepat, sesuai dengan keinginan para aktor. Akan
tetapi, di Mimika yang terjadi tidak demikian. Di samping cara merespon yang
keliru, faktor-faktor lain juga sangat berpengaruh, sehingga protes akhirnya
berkembang mnjadi gerakan sosial, bahkan pada akhirnya berkolaborasi dengan
gerakan politik. Oleh karena tidak dapat disebut sebagai gerakan politik murni,
maka perkembangan terakhir dari gerakan sosial di Mimika dapat disebut sebagai
gerakan sosial politik. Proses perkembangan itu sesungguhnya meliputi
perubahan-perubahan dalam hal bentuk gerakan, lokus gerakan, dan sifat gerakan.
Dilihat dari segi bentuk, terjadi methamorpose dari gerakan tanpa bentuk
(amorph) menjdi gerakan terorganisir, dari segi lokus terjadi perluasan dari
Amungsa (tempat tinggal orang Amungme) sampai Jakarta, bahkan sampai ke tingkat
internasioanl, dan dari segi sifat-sifat gerakan, berkembang dari gerakan
rekognitif ke gerakan politik/instrumentalis.
Perubahan yang jelas dari sifat
gerakan ini adalah pada saat pimpinan Lemasa bergabung dengan Presidium Dewan
Papua (PDP), yang tujuan pergerakannya ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di dalam PDP, bergabung berbagai pemimpin
gerakan yang berasal dari Mimika seperti Kelly Kwalik dan Fedelis Songgonanau
(penggerak kerusuhan Timika 1996). Pada kongres PDP kedua, Tom Beanal (ketua
Lamasa) terpilih sebagai Wakil Ketua PDP. Selain itu Tom Beanal juga menjadi
salah seorang anggota tim yang mengahadap Presiden Habibie untuk berdialog
tentang Papua. Di samping manuver pada tingkat nasional dan internasional,
penggalangan massa di wilayah Mimika juga dilakukan dengan mensosialisasikan
ide Papua merdeka secara damai. Di luar itu, berkembang pula gagasan untuk
pemerintahan dengan model otonomi yang seluas-luasnya, sehingga terjadi
polarisasi gerakan. Satu pihak ingin merdeka, pihak yang lain ingin otonomi
luas. Di antara keduanya, ada yang beranggapan bahwa bisa menerima otonomi luas
dengan catatan, sebagai persiapan untuk mencapai kemerdekaan. Respon pemerintah
atas tuntutan itu adalah menyelenggarakan dialog yang lebih intensif dan
mempersiapkan konsep otonomi khusus. Pilihan pemerintah ini dianggap jalan tengah
untuk memberi kebebasan bagi masyarakat Papua untuk mengelola pemerintahannya
sendiri dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat setempat, asal
tetap berada dalam NKRI.
Sejak gerakan-gerakan politik ini
muncul, tuntutan terhadap Freeport nampak mengendor, bahkan ada upaya untuk
memanfaatkan Freeport sebagai sumber kekuatan gerakan. Dengan masuknya Tom
Beanal sebagai salah seorang komisaris Freeport, akses dana maupun jaringan ke
luar negeri menjadi lebih besar. Ini menunjukkan adanya proses pemusuhan
menjadi kawan dengan tujuan untuk mendukung perjuangan politik sekaligus
sebagai jembatan untuk promosi kepemimpinan seorang kepala suku besar atau
kepala lembaga adat. Proses ini dapat disebut sebagai instrumentalisasi, yang
juga merupakan bagian perubahan dari sifat gerakan yang bersifat rekognitif
menjadi politis instrumentalis.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa
persoalan konflik dan pemberontakan masyarakat Papua sekarang ini adalah murni
karena persoalan kesejahteraan yang tergadai dan ketidakadilan social.
Menyangkut kesejahteraan, masyarakat Papua lebih miskin daripada orang miskin
pada umumnya, hak-hak dasar mereka sebagai manusia belum terpenuhi dengan baik,
ditambahlagi dengan perhatian pemerintah daerah yang tidak konsisten dalam
memberikan pelayanan social. Menyangkut ketidakadilan social, masyarakat Papua
seperti menjadi anak tiri jika diberikan perbandingan dengan pemotongan kue
yang berada diwilayah pulau Jawa. Melimpahnya dana dari pusat tidak lagi
menjadi kepentingan social, melainkan menjadi kepentingan elite politik dan
pengusaha. Begitu juga dengan Freeport, pemerintah harus segera melakukan
renegoisasi kontrak agar pembagian persentase lebih adil, kesejahteraan bagi
masyarakat Papua bisa terwujud.
B. Saran
Disarankan
kepada para pembaca setelah membaca makalah ini dapat mengingatkan dan
memperhatikan kepada saudara dan rekan-rekan muslim lainnya agar tidak terjerat
dengan bahaya korupsi yang ada di indonesia saat ini.
penutup
penduduk asli Mimika yang sebagian besar tidak
setuju dengan kehadiran PT Freeport di daerah mereka diwujudkan dalam bentuk
gerakan protes yang kemudian berkembang menjadi gerakan sosial politik. Protes
yang mereka lakukan merupakan indikasi adanya konflik yang terjadi karena
ketidakseimbangan di dalam distribusi kekuasaan dan kesejahteraan. Pada satu
pihak terjadi konsentrasi kekuasaan dengan segala keberuntungan yang
mengikutinya, di lain pihak terjadi ketidakberdayaan dengan segala
penderitaannya. Bila konflik tidak segera diatasi atau ditangani, dapat
melahirkan gerakan-gerakan mulai dari aksi-aksi kolektif sampai gerakan
terorganisir yang disebut gerakan sosial. Dalam kondisi pemerintahan lemah dan
sistem tidak berjalan baik, ditunjang dengan masuknya issu-issu global,
mendorong gerakan sosial menjadi gerakan politik.
Di Mimika, proses perkembangan
seperti itu dipicu oleh kehadiran proyek berskala internasional dengan segala
peradaban modern yang dibawanya sekaligus sebagai lambang kekuasaan dan
kekuatan. Proyek ini berada di tengah-tengah masyarakat yang hidup terbelakang
dengan segala budaya yang dimilikinya. Dalam perkembangan yang normal,
diperlukan waktu ratusan tahun bagi masyarakat yang tertinggal itu untuk sampai
pada tingkat modernitas seperti yang ditampilkan PT. Freeport beserta
komunitasnya. Akan tetapi, dengan kehadiran proyek besar itu, masyarakat lokal
dipaksa menceburkan diri dalam kehidupan modern dalam waktu yang sangat
singkat. Akibatnya, terjadilah kehidupan yang kontras di Kabupaten Mimika,
yakni peradaban modern dan tradisional.
Interaksi antara budaya global
dengan budaya lokal melahirkan berbagai persoalan bagi masyarakat lokal karena
belum siap untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru. Nilai-nilai, cara
berpikir, dan perilaku sosial di antara dua kebudayaan itu sangat kontras,
sehingga pertemuan antara keduanya menimbulkan benturan budaya. Dalam setiap
benturan, yang akan menderita adalah mereka yang posisi maupun strukturnya
lemah. Pihak yang lemah selalu menjadi korban, sedangkan yang kuat tetap tegar.
Dalam keadaan bingung dan kesulitan untuk memposisikan diri muncullah kekuatan
untuk bertahan berupa upaya-upaya yang diwujudkan dalam bentuk protes, baik
secara fisik maupun verbal.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Taufik
Tuhana, 2001, Mengapa Papua Bergolak?, Gama Global Media, Yogyakarta.
Anorga, Pandji &
Sri Suyati. 1995. Psikologi Industri & Sosial. PT Dunia Pustaka Jaya.
Jakarta.
August, Kafiar &
Tom Beanal, 2000, PT Freeport Indonesia dan Masyarakat Adat Suku Amungme, Forum
Lorentz.
Eisenstadt, S.N., 1986,
Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Terj. Chandra Johan, CV Rajawali,
Jakarta.
Hasanuddin, Lili (ed.),
2001, Suara dari Papua: Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Papua Asli, Yappika,
Jakarta.
Hatta, Meutia, 1991,
Proyek Pembangunan Pemindahan Kampung dan Stres pada Masyarakat Marunda Besar,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1993,
Irian Jaya Menbangun Masyarakat Majemuk, PT Gramedia, Jakarta.
Mealey, George A.,
1999, Grasberg: Penambangan Tembaga dan Lumis di Pegunungan Irian Jaya pada
Endapan yang Paling Terpencil di Dunia, Freeport Mc Moran Copper & Gold
Inc, Indonesia.
Melalatoa, M. Junus,
1997, Silimo: Produk Peradaban Tua di Irian, dalam Sistem Budaya Indonesia, PT
Pamator, Jakarta.
Ngadisah, 2003, Konflik
Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua, Pustaka Raja, Yogyakarta.
Sariyun, Yugo, Konflik
Sosial di Sekitar LNG, dalam Wawasan, Nomor 4 Tahun II/1980.
Sarwono, Sarlito
Wirawan,1992, Psikologi Lingkungan, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta., 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial.
Balai Pustaka. Jakarta.
Jakarta. 2002.
Teori-teori Psikologi Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Walgito, Bimo. 1999.
Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). ANDI. Yogyakarta.
Wiggins, J., Wiggins,
B. and Zanden, J. 1994,. Social Psychology. McGraw-Hill. Inc (5th ed).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar